Yuk Kenali Permasalahan kulit Pada Si kecil

Yuk Kenali Permasalahan kulit Pada Si kecil

Dalam masa adaptasi, hal ini yang sering dirasakan si buah hati setelah mereka dilahirkan. Dan ini sering berdampak pada perubahan kualitas kesehatan yang signifikan. Salah satunya perubahan kualitas kesehatan kulit mereka karena sesuatu, salah satunya Popok Bayi.

Seperti dikutip dari indiatimes.com, dibanding dengan masalah kesehatan lain, kulit bayi lebih rentan mengalami permasalahan. Ini disebabkan kulit yang masih sensitif dan proses adaptasi si kecil dalam fase pertumbuhan.

Beberapa jenis masalah kulit pada dasarnya kerap dialami, dan disebabkan karena banyak sebab. Seperti faktor kesehatan, lingkungan sampai benturan yang dialami oleh si kecil. Nah berikut ada beberapa jenis permasalahan kulit yang kerap dialami oleh si kecil saat usia mereka beberapa bulan.

Gatal dan ruam karena popok. Higienitas dan pemilihan bahan popok yang dilakukan asal, sering berdampak pada penurunan kualitas kulit, terutama di bagian yang tertutup popok. Gejala ini sering muncul dengan ditandai ruam dan gatal-gatal.

Untuk mengatasinya, ganti popok secara teratur, dan jangan biarkan terlalu lama bayi bersama bekas ompol mereka. Jika sudah terlanjur, oleskan krim penghilang rasa nyeri dan iritasi yang banyak di jumpai di apotik. Namun jika cara ini tak berhasil, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter untuk menemukan solusi lebih tepat.

Jerawat. Tak hanya remaja, biasanya bayi juga kerap mengalami permasalahan jerawat di wajah mereka. Meski demikian, berbeda dengan orang dewasa, masalah ini biasanya muncul tidak terlalu gawat dan berbahaya. Tak ada cara khusus untuk menghilangkannya, karena seiring waktu, bagian ini akan sembuh dengan sendirinya.

Eksim. Hampir sama dengan masalah jerawat dan iritasi karena popok, masalah eksim juga kerap ditandai dengan rasa gatal dan warna merah. Biasanya masalah ini muncul karena bayi memiliki riwayat alergi. Gejala munculnya eksim bisa dimana saja, seperti wajah, dada, lengan dan siku. Kemunculan masalah ini biasanya berdampak pada kulit bayi yang terlihat bersisik. Untuk mengatasinya, jauhkan dari penyebab bayi alergi dan cuci bersih pakaian yang digunakan.

Kulit kering . Masalah kulit kering, sering dialami hampir semua bayi. Dan hal ini sering ditandai dengan pengelupasan kulit kering dalam beberapa hari. Jangan panik, karena hal ini normal adanya. Namun jika sakit berlanjut, ada baiknya Anda buat janji dengan dokter untuk solusi lebih tepat.

Biang keringat. Masalah ini muncul saat bayi mengalami masalah dengan keringat yang tak terdistribusi dengan benar. Hawa panas dan membuat mereka berkeringat, membuat risiko munculnya permasalahan ini kian parah. Solusinya, gunakan pakaian longgar dan hindari pakaian ketat.

Bintik putih. Masalah ini biasanya terlihat seperti nanah pada orang dewasa. Jika buah hati Anda mengalami hal ini, tenang dan jangan panik, karena masalah ini kerap dialami oleh banyak bayi di dunia. Bintik putih pada dasarnya muncul karena lapisan kulit yang menghambat kelenjar keringat. Dan biasanya, masalah ini akan hilang dengan sendiri, seiring berjalannya waktu.

Sindrom Kematian Mendadak Bayi Sering Terjadi di Sofa

Sindrom Kematian Mendadak Bayi Sering Terjadi di Sofa

Dalam sebuah penelitian di Amerika Serikat menyebut hasil penelitian yang sangat mengejutkan. Yakni sekitar 12% dari total 8000 kematian anak (bayi) mendadak, dan hal ini berawal dari kebiasaan orangtua menidurkan bayinya di sofa. Nah demi Healthy & Safety, apa yang harus kita hindari dari dampak buruk fenomena ini ?

Seperti dikutip dari WebMD, sebuah penelitian di Amerika Serikat baru-baru ini mengungkap motif kematian mendadak bayi. Salah satunya adalah saat ia ditidurkan di sofa. Dalam penelitian mengungkap dari 8000 angka kematian, 12% diantaranya terjadi karena tidur di sofa.

Lebih jauh dari penelitian ini juga mengungkap, dari seluruh jumlah bayi yang mengalami kematian mendadak tersebut, 75% diantaranya dialami oleh bayi yang baru saja lahir.

“Sangat mengejutkan bahwa satu dari delapan kematian bayi saat tidur semuanya terjadi di sofa. Sofa adalah salah satu tempat yang terlihat nyaman dan tak berbahaya untuk bayi, karena itu angka ini cukup mengejutkan,” ungkap penulis penelitian Dr Jeffrey Colvin dari Children’s Mercy Hospital di Kansas City.

Ia menambahkan, hal tersebut terjadi karena bayi sering mengalami masalah SIDS (Sudden infant death syndrome). Sindrom ini sangat berbahaya, karena sering membuat bayi yang awalnya terlihat sehat, tiba-tiba meninggal secara tiba-tiba.

Beberapa kasus meninggalnya bayi secara mendadak di sofa terjadi karena satu dan beberapa hal. Diantaranya, 40% disebabkan karena sesak nafas (bayi tengkurap atau bergerak ke arah yang salah dan tak bisa kembali), 36% penyebab tak jelas dan 24 persen karena SIDS.

Bukan kasus yang bisa diremehkan, di Amerika, kasus ini telah merenggut tak kurang dari 4000 bayi setiap tahunnya.

Dan menurut survei yang dilakukan oleh Colvin dan koleganya sejak tahun rata-rata bayi yang meninggal tersebut berusia 3 bulan atau lebih kurang. Para peneliti memperkirakan, kematian ini diakibatkan perkiraan tempat yang nyaman bagi orang tua. Hal ini sering membuat mereka lengah dalam mengawai buah hatinya.

Dan berbeda dengan tempat tidur bayi, permukaan sofa yang bergelombang membuat bayi berisiko terjebak di satu sisi dalam waktu yang lama, dan dalam kondisi tersekap.

“Selain itu, sekitar 90 persen kematian di atas sofa terjadi ketika bayi ditemani tidur oleh orang dewasa. Bisa jadi bayi tak mendapatkan ruangan yang cukup dan kesulitan bernapas atau bergerak,” ungkap Colvin.

Hasil penelitian ini sangat berguna dan direkomendasikan bagi setiap orangtua atau baby sitter dimanapun. Untuk selalu waspada dalam memilih tempat tidur yang tepat bagi si kecil, terutama saat usia mereka beberapa bulan setelah dilahirkan.

Selain itu, ada baiknya tak menaruh si kecil pada alas tidur yang kurang rata, meski sofa sering terlihat nyaman. Dan yang pasti, saat tidur dengan si kecil, beri jarak aman agar tubuh Anda tak menindih tubuh mungil si buah hati.

Konsumsi Air Mineral untuk Si Kecil, Berbahayakah?

Konsumsi Air Mineral Untuk si Kecil, Berbahayakah_

 

Demi menjaga agar si kecil tetap minum susu bayi, tak jarang orangtua sering memanfaatkan air minum kemasan. Selain mudah didapat, produk air mineral juga dikenal higienis, dan aman bagi siapa saja, termasuk si kecil. Namun pertanyaannya, apakah bisa kita percaya 100% kualitas air mineral kemasan begitu saja ?

Seperti dikutip dari Parenting, pada dasarnya air kemasan disediakan dan dikemas untuk konsumsi instan, baik untuk orang dewasa, lansia dan bahkan campuran susu si kecil. Sayangnya, beberapa hal sering berpengaruh pada kualitas air dalam kemasan.

Seperti lingkungan tempat produk ini dijual. Yang artinya, kualitas produk air mineral di supermarket akan lebih baik ketimbang di warung yang kerap terpapar langsung oleh debu dan sinar matahari. Bukan hal sepeleh, sinar matahari sering membuat air menjadi tercemar, karena reaksi plastik yang akan berubah saat terkena panas.

Selain itu, dalam hal penyimpanan, sebaiknya jangan taruh air kemasan ke tempat bersuhu tinggi, atau terpapar sinar matahari. Hal ini akan membuat reaksi yang sama, dan air di dalam botol menjadi tak layak lagi untuk diminum.

Hal lain yang tak bisa diremehkan dalam pemanfaatan air mineral kemasan botol plastik adalah penggunaan botol. Pada dasarnya, kebanyakan produk air mineral, dikemas dari botol plastik berbahan dasar PET/PETE (polyethylene terephthalate).

Dalam hal penggunaan, bahan ini biasanya direkomendasikan untuk sekali pakai. Sehingga saat air didalamnya telah habis, sebaiknya jangan pergunakan lagi botol sisanya, terlebih untuk air minum si kecil.

Dalam kondisi dipakai ulang, terutama dengan menggunakan air panas atau hangat, zat plastik dalam kemasan botol akan bereaksi dan mengeluarkan zat karsinogenik. Zat ini biasa disebut-sebut dapat meningkatkan risiko kanker jika terpapar oleh seseorang dalam jangka waktu tertentu.

Selain cara memilih, menyimpan dan memanfaatkan botol plastik bekas kemasan air mineral, hal terpenting lain yang perlu Anda perhatikan adalah cara pengkonsumsiannya. Pada dasarnya, air mineral dalam botol tidak disarankan diminum dari mulut melalui mulut botol. Karena tak jarang, bagian ini kerap kotor karena sering terpegang.

Untuk itu, direkomendasikan saat mengkonsumsi, lap terlebih dahulu bagian mulut botol dengan lap kering. Selain itu, minun di gelas untuk menghindari pencemaran lebih lanjut. Atau jika ingin hangat, manfaatkan dispenser atau pemanas air, didihkan dalam beberapa menit.

Saat ini tak susah mencari produk air mineral dari berbagai jenis merek. Tak hanya jeli dalam memilih produk, terutama untuk kebutuhan si kecil, ada baiknya juga kita memperhatikan cara mengkonsumsi, menyimpan dan menjaga kualitas air agar tetap baik.

Karena bagaimanapun juga, air mineral kemasan terbukti lebih baik ketimbang air hasil rebusan. Selain air keran yang banyak tercemar zat berbahaya, proses perebusan membuat air berisiko tercemar logam berat yang tak baik bagi kesehatan.

Kapan Bayi Memerlukan dan Tak Memerlukan Bedong

Kapan Bayi Memerlukan dan Tak Memerlukan Bedong

Salah satu teknik agar membuat bayi merasa nyaman adalah dengan cara membedong. Kehangatan yang didapat dari cara ini disebut-sebut dapat memberi efek nyaman, karena bayi merasa masih berada dalam kandungan. Hanya saja, tanpa pengalaman dan pengatahuan yang cukup, proses pembedongan sering berdampak buruk, terutama dalam hal Healthy & Safety si kecil.

Akan tetapi, tak sekedar membungkus, proses pembedongan yang salah juga dapat berdampak buruk pada si kecil. Seperti dikutip dari Parenting, proses pembedongan dengan cara yang salah, justru akan merusak tulang rawan, dan pinggul si kecil. Hal ini pada akhirnya berdampak pada munculnya risiko hip dyslapsia.

Pada dasarnya proses pembedongan disarankan dilakukan dengan tujuan melatih otot-otot si kecil dan memberi rasa nyaman. Terutama pada saat suhu di sekitar ruangan membuat si kecil mengigil. Hanya saja, teknik dan pelaksanaannya harus tetap dilakukan sesuai dengan aturan.

Seperti saat bayi sedang tidur, ini adalah waktu yang tepat bayi untuk dibedong, ketimbang saat mereka terbangun atau terjaga. Karena pada saat terbangun, proses pembedongan justru akan menghambat perkembangan motorik bayi.

Selain itu, pada saat suhu ruangan panas, proses pembedongan justru akan menurunkan kualitas kesehatan kulit si kecil. Dampaknya ia akan mudah rewel, tak mau menyusu, susah tertidur dan mengalami iritasi kulit karena keringat yang tak bisa keluar dengan baik.

Sebaliknya, proses pembedongan yang dilakukan dengan baik dan pada saat yang tepat, justru akan membuat si kecil merasa nyaman. Dan hal ini merangsang perkembangan motorik si kecil jadi lebih baik.

Seperti dijelaskan oleh AAP, memperhitungkan rongga dalam bedong yang baik dan proses pengikatan yang benar akan menurunkan dampak buruk dalam proses pembedongan. Dengan kata lain, bayi pun akan terhidar dari masalah hip dyslapsia.

Proses pembedongan biasanya disarankan saat anak berusia di bawah satu bulan. Selepas usia tersebut, sebaiknya anak mulai jarang di bedong. “Lebih baik bayi bermain-main sama orang tuanya tanpa dibedong, sehingga ia mendapatkan stimulasi dan bisa bereksplorasi. Jelas dr. Ariani.

Ia mengatakan, selain itu, pada usia ini, bayi seharusnya sering mendapat ransangan skin to skin. Yang biasa dilakukan pada saat bayi menyusu. Meski demikian, proses pembedongan masih tetap bisa dilakukan, pada saat si kecil sedang tertidur.

Pada saat usia dua bulan, proses pembedongan sebaiknya tidak dilakukan lagi, baik saat bayi sedang tertidur. Karena pada usia ini, gerakkan bayi mulai lebih aktif, dan proses pembedongan akan meningkatkan risiko sindrom kematian mendadak pada si kecil.

Karena sudah tak lagi di bedong, ada baiknya Anda selalu memperhatikan suhu ruangan. karena jika terlalu panas, atau terlalu dingin, kondisi bayi akan lebih rentan mengalami gangguan. Terlebih sebelumnya mereka mendapat perlindungan ekstra dari proses pembedongan.

Bayi Terlahir Obesitas, Bisa Jadi Ini Penyebabnya

Bayi Terlahir Obesitas, Bisa Jadi Ini Penyebabnya

Bayi gemuk mungkin akan terlihat lucu dan menggemaskan. Tapi sayangnya, dalam kaca mata medis, kondisi tersebut jelas kurang menguntungkan. Mengingat sejumlah risiko kesehatan yang kerap muncul menyertainya. Nah selain pemilihan Feeding & Nursing yang baik untuk mencegah kegemukkan, ternyata obesitas bisa muncul secara alamiah, atau sejak bayi dilahirkan.

Tak hanya bagi orang dewasa, masalah obesitas juga kerap mengundang segudang permasalahan bagi kesehatan pada bayi. Namun berbeda dengan orang dewasa, tak sedikit bayi terlahir dalam kondisi obesitas.

Dampaknya, anak akan mudah terserang penyakit metabolic syndrome, seperti diabetes tipe 2. Nah dalam hal kasus obesitas yang ditemukan pada anak dan bayi, umumnya hal ini sering disebabkan karena kebiasaan ibu saat sedang hamil. Salah satunya sering mengkonsumsi obat antibiotik.

Dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Columbia University’s Mailman School of Public Health, konsumsi antibiotik saat hamil sering berisiko membuat janin mengalami obesitas. Dan hal ini berdampak pada besarnya bayi saat dilahirkan.

Dan meski tak mengalami obesitas saat dilahirkan, kebiasaan ibu ini juga berlaku pada saat anak memasuki usia 7 tahun. Sementara hal yang sama dalam penelitian juga didapat dari bayi yang terlahir secara secara caesar.

Dalam hasil penelitian didapat, zat dalam obat antibiotik sering masuk ke dalam plasenta dan mempengaruhi sebuah microba di dalamnya. Padahal, microba di dalam plasenta sering berfungsi penting dalam menjaga keseimbangan.

Seperti dikutip dari Science Daily, hasil ini sendiri didapat setelah sebelumnya para peneliti melakukan riset terhadap 727 ibu hamil di Harlem Hospital Center. Hal ini dilakukan selama 8 tahun mulai dari 1998 hingga 2006.

Dalam risetnya, para peneliti menemukan, kelompok ibu-ibu yang sering berhubungan dengan antibiotik berisiko melahirkan anak obesitas sebanyak 16%. Tentu saja hal ini jika dibandingkan dengan ibu-ibu yang tak menggunakan obat antibiotik selama masa kehamilan.

Meski telah diteliti dan ditemukan hasilnya, namun untuk hasil lebih detil dan sempurna, masih dibutuhkan beberapa penelitian lebih lanjut untuk mengungkap fakta dibalik konsumsi antibiotik dan risiko obesitas pada bayi.

Menjaga berat badan ideal sebaiknya dilakukan berdasarkan kebutuhan pola hidup sehat, dan bagi ibu, sebaiknya jangan egois. Terutama pada saat hamil, mengurangi risiko anak mengalami obesitas adalah hal yang sebaiknya dilakukan. Karena dengan obesitas, anak akan lebih rentan dengan penyakit berbahaya. Tak hanya diabetes, risiko lain adalah munculnya masalah jantung dan pernafasan.

Begitu pula saat anak setelah lahir, pola konsumsi ASI, dan makanan pendamping yang baik akan membuat berat badan dan kesehatan mereka tetap terjaga dan ideal. Sehingga anak tak mudah sakit dan mengalami berbagai masalah kesehatan yang lain.

Anak Suka Memasukkan Sesuatu Di Mulut? Jangan Dilarang

Anak Suka Memasukkan Sesuatu Di Mulut, Jangan Dilarang

Disadari atau tidak, kebiasaan si kecil dalam memasukkan apapun di dalam mulutnya, termasuk Mainan Bayi, adalah hal normal dan seharusnya tidak dilarang. Karena hal tersebut merupakan syarat proses tumbuh skembang s kecil agar berjalan lebih berkualitas.

Seperti dikutip dari Parenting hal tersebut disampaikan oleh dr. Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH. Menurut Bernie, saat ini banyak orang melarang si kecil memasukkan mainan atau tangan mereka ke mulut, karena alasan higienitas. Faktanya, hal tersebut sebaiknya tidak dilarang, karena merupakan proses si kecil untuk tumbuh dan berkembang.

Menurut Bernie, fase oral atau kebiasaan si kecil memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya, biasanya berlangsung saat ia berusia 3 hingga 5 bulan. Pada saat ini, bayi mulai aktif memegang dan memasukkan apa saja di dalam mulutnya.

Hal ini membutuhkan perhatian lebih dari orangtua. Terlebih menjauhkan benda-benda berbahaya dari jangkauan si kecil agar tak tertelan. Sebagai gantinya, beri ia mainan bayi, yang mudah di pegang, tidak mudah tertelan dan terbuat dari bahan yang aman.

Terlepas dari perhatian orangtua dan keamanan benda di sekitar si kecil, ada baiknya kegiatan ini tidak dilarang untuk dllakukan, karena dengan memegang dan memasukkan mainan ke dalam mulut, si kecil akan belajar memfungsikan organ oromotor atau motorik mulut.

Kebiasaan ini kelak akan membuat mereka mudah dalam hal berlajar berbicara dan makan. “Jadi, biarkan anak mengeksplorasi lingkungan melalui fase oral,” kata dr. Bernie.

Selain benda-benda di sekitar, dalam fase oral, anak juga kerap memasukkan tangan dan jari-jari mereka ke dalam mulut. Untuk itu, menjaga higienitas tangan sangatlah penting, guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan, seperti infeksi bakteri, virus dan kuman berbahaya.

Untuk membersihkan tangan si kecil, dapat Anda lakukan dengan cara sederhana. Yakni dengan menggunakan tisu basah. Tapi ingat tak semua produk tisu basah, baik untuk kebutuhan si kecil. Terutama produk dengan bahan dasar alkohol.

Solusi dalam hal ini adalah memilih produk tisu basah yang aman buat si kecil atau sesuai dengan standar food grade yang menggunakan bahan tak berbahaya, sehingga tak menggangu kesehatan si kecil.

Meski disarankan untuk usia awal-awal setelah kelahiran, kebiasaan ini tak bisa terus dilakukan, setidaknya sampai usia mereka 2 tahun. Karena jika tak dihentikan, kebiasaan ini berkembang menjadi kebiasaan buruk saat mereka tumbuh kembang.

Sebagai gantinya, Anda bisa menggunakan finger food, yang selain digigit, bisa dimakan oleh si kecil. Cara ini tetap dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan berbicara dan makan si kecil, meski kini caranya sedikit dirubah.

Untuk hasil yang maksimal, pilih finger food yang memiliki kandungan nutrisi dan gizi yang baik bagi si kecil. Jenis makanan yang mudah digenggam akan membuat si kecil lebih mandiri, terutama pada saat makan.

Lalu, kapan Anda mulai harus menghentikan kebiasaan ini? Menurut dr. Bernie, ketika anak berusia 2 tahun, Anda sudah diperkenankan untuk berusaha menghentikan kebiasaan ini, misal dengan mengalihkan perhatiannya dengan memberinya finger food.

Agar Bayi Prematur Cepat Berbicara

Agar Bayi Prematur Cepat Berbicara

Tak hanya perhatian dengan perawatan yang baik, dalam hal perkembangan, bayi prematur membutuhkan perhatian lebih, jika dibandingkan dengan bayi lahir normal. Salah satunya dengan proses komunikasi secara intens, selain memperhatikan proses Feeding & Nursing yang baik.

Sejak lahir, bayi prematur pada umumnya memerlukan perawatan ekstra. Ini dikarenakan, organ tubuh yang belum terbentuk sempurna, membuat mereka harus terlebih dahulu berkenalan dengan ruang inkubasi sebelum pada akhirnya hidup normal seperti bayi kebanyakan.

Dalam hal kesehatan, bayi prematur juga rentan mengalami gangguan penyakit. Sehingga memerlukan perawatan khusus, setidaknya sampai usia mereka benar-benar siap dan memiliki sistem imunitas tubuh yang baik.

Dan tak berhenti di sana, dalam hal proses awal perkembangan, orangtua bayi prematur sebaiknya lebih aktif dan sering mengajak ngobrol buah hatinya. Karena dibandingkan dengan anak dengan lahir normal, banyak kasus keterlambatan berbicara sering dialami oleh bayi.

Untuk memulai proses pembelajaran dan perkembangan awal si kecil yang terlahir prematur, Anda bisa memulai dengan sering berbincang. Setidaknya satu hari 100 kata, secara rutin kegiatan ini dapat meningkatkan keterampilan berbahasa si kecil nantinya saat usia si kecil menginjak 18 bulan.

Dengan konsumsi banyak kosakata dari orang sekitar, kemungkinan besar si kecil mampu berbicara lebih banyak ketimbang anak dengan minim kosakata di beberapa bulan setelah dilahirkan. Dan hal ini juga berlaku bagi bayi yang terlahir normal.

Seperti dikutip dari Parenting dalam penelitian menunjukkan, beberapa kasus ketertinggalan berbicara si kecil sering berawal dari kebiasaan orangtua. Dalam hal ini, mereka jarang berbincang dan memperkenalkan kosakata di beberapa bulan setelah anak mereka dilahirkan.

Hal ini ditemukan dalam sebuah penelitian panjang dengan waktu lebih dari 10 tahun. Dan hal ini sering terjadi karena dua hal utama. Diantaranya pasifnya orangtua dalam mengajak anak mereka berbicara, dan proses kelahiran bayi prematur. Komposisi keduanya, membuat potensi gangguan kemampuan berbicara si kecil akan semakin besar.

Penelitian ini telah dipublikasikan oleh jurnal medis Pediatrics. Dalam keterangannya, ketua penulis Dr. Betty Vohr dari Warren Alpert Medical School of Brown University dan Women & Infants Hospital in Providence, Rhode Island, menjelaskan, umumnya bayi prematur lebih sering mendengar suara mesin. Ini dikarenakan terlalu lama mereka di rawat di ruangan khusus (di Rumah Sakit).

Yang artinya, dalam hal interaksi dengan orangtua, bayi prematur lebih terlambat karena kerap mendapatkan perawatan khusus berhari-hari bahkan minggu atau bulan. Penelitian ini sendiri dilakukan pada 36 bayi berusia 32 dan 36 minggu setelah dilahirkan.

Untuk itu, para peneliti kemudian menyarankan untuk meningkatkan intensitas komunikasi dengan si kecil yang terlahir secara prematur.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh American Academy of Pediatrics juga menyebutkan, terapi 100 kosakata setiap hari, rata-rata menunjukkan angka keberhasilan hingga 2 poin. Hal ini tentu dilihat dari kemampuan si kecil dalam berbicara saat mereka berusia 18 bulan.